KIDUNG SUNDA

Sejarah adalah kejadian masa lampau tentang peristiwa yang disusun berdasarkan berbagai peninggalan, bisa dalam bentuk tulisan, benda, gambar, atau media lainnya yang dianggap bisa menjelaskan suatu peristiwa.

Dari masing - masing kita pasti memiliki sejarah, bisa tentang peristiwa baik atau peristiwa buruk yang alangkah bijaknya jika kita tetap mengingatnya. Jika itu hal baik maka kita harus mengingat untuk mengulanginya lagi dan jika itu buruk tetap kita harus mengingatnya juga untuk tidak mengulanginya lagi. 

Begitu besar dorongan sejarah ini berpengaruh terhadap kehidupan seseorang yang mengingatnya, seperti dalam Pidato Bung Karno 17 Agustus 1966 -JASMERAH- "Jangan sekali - kali melupakan sejarah". Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah.

Pernah ditulisan sebelumnya menyinggung tentang Kidung Sunda.
Kidung Sunda merupakan karya sastra dalam bahasa Jawa yang ditemukan di bali yaitu berbentuk tembang (syair) berisi perang bubat Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda, Perang ini terjadi pada abad ke-14 sekitar tahun 1279 saka atau 1350 M. Berawal dari keinginan Raja Hayam Wuruk Raja Majapahit untuk mempersunting seorang putri yang dilihatnya dalam lukisan dipusat Kota Majapahit dan diketahui bahwa putri itu adalah Dyah Pitaloka yang tidak lain adalah putri dari Kerajaan Sunda. Seketika itu juga Sang Raja langsung mengutus Mahapatih Gajah Mada untuk memboyong sang Putri ke Majapahit.

Setelah musyawarah sang Raja Sunda dengan para menteri Kerajaan akhirnya diputuskan menerima lamaran dari pihak Kerajaan Majapahit karena dianggap nya masih ada tali persaudara yang memang pendiri Kerajaan Majapahit (Raden Wijaya) adalah keturunan Sunda.

"Lembu Dyah Tal atau Singamurti menikah dengan Rakeyan Jayadarma putra Prabu Guru Darmasiksa Raja Kerajaan Sunda-Galuh adalah putri dari Mahisa Cempaka cucunya Ken Arok Pendiri Kerajaan Singosari. Dari perkawinan itu lahirlah Raden Wijaya. Rakeyan Jayadarma menjadi Putra Mahkota berkedudukan di Pakuan tetapi ia meninggal diracun oleh saudara nya sendiri karena ingin merebut tahta singgasana, sepeninggalan suaminya Dyah Lembu membawa Raden Wijaya pergi ke negeri kelahirannya dan menetap disana yaitu Singosari" (Kediri) 

Entah berapa lama setelah itu, dikisahkan dari pihak Kerajaan Sunda Sang Raja, Putri beserta para rombongan berangkat menuju Tanah Majapahit, tetapi di Tengah Jalan (Bubat) yang belum pernah diketahui sampai detik ini lokasi persisnya Bubat itu dimana. Ternyata memang sudah ada niat tidak baik dari Gajah Mada yang menganggap penyerahan Putri Dyah Pitaloka dari Kerajaan Sunda adalah sebagai tanda takluknya Kerajaan Sunda kepada Majapahit.

Diketahui dari berbagai sumber bahkan dipelajaran IPS Sekolah Dasar, pada waktu itu adalah masa keemasan Majapahit yang wilayah kekuasaannya melingkupi seluruh Nusantara bahkan nyaris se-Asia Tenggara (Malaysia, Brunai, Philifina)

Berkaitan dengan sumpah palapa yang diucapkan Patih Gajah Mada.




"Sira Gajah Mada Patih Amangkubhumi tan ayun amukti palapa, Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring seran, Tanjung Pura, ring haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa". 

Dia Gajah Mada Patih Amangkubhumi tidak ingin melepas puasa, jika telah mengalahkan Nusantara, saya baru akan melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya baru akan melepaskan puasa.

Teringat akan sumpahnya itu dan Mahapatih menyadari masih ada Kerajaan Sunda yang belum takluk pada kekuasaan Majapahit, seketika itu juga Pasukan yang dipimpin Gajah Mada memerangi rombongan yang berniat menikahkan Putri dari Kerajaan Sunda dengan Raja Hayam Wuruk (Raja Majapahit). 

Terjadilah peperangan yang tidak seimbang, rombongan Kerajaan Sunda gugur termasuk Sang Raja, Dyah Pitaloka pun beserta para dayang Istana yang ikut serta dalam rombongan melakukan belapati. Diceritaan bahwa ajaran kepercayaan dari Kerajaan Sunda. Untuk membela kehormatan, dari pada menjadi tawanan wanita harus melakukan belapati (bunuh diri).

(Patih Gajah Mada adalah Mahapatih yang loyal kepada Raja dan mengabdi pada Negara). Dengan penuh penyesalan Mahapatih Gajah Mada yang tidak bisa memboyong Sang Putri Ke Majapahit akhir nya pergi entah kemana, dalam ajaran Hindu (Agama mayoritas di Pulau Jawa pada waktu itu) menghilangnya itu dikatakan adalah moksa.

Sejak saat itulah se-antero Tanah Pasundan (Jawa Barat) diumumkannya oleh pihak Kerajaan melarang apa - apa saja yang berhubungan dengan turunan Majapahit (Jawa Timur sebagian Jawa Tengah). Pada saat Kidung Sunda ini dikeluarkan oleh  C.C Breg (Sejarawan Belanda) pada tahun 1927 - 1928 yang masih belum jelas penulisnya siapa, bahkan banyak artikel yang menyanggah kebenaran tentang perang Bubat ini yang ditengarai fiktif karangan Pemerintah Kolonial dalam menjalankan politik devide et impera yaitu politik memecah belah yang pada saat itu Belanda kewalahan melawan banyak nya perlawanan dari rakyat Pulau Jawa.

Akibat dari itu, maka sampai sekarang tidak pernah ada nama Jalan yang menggunakan nama Gajah Mada di Jawa Barat tidak hal nya dengan di Daerah lain.
Ada pepatah mengatakan "Hanya pemenangnya yang akan menuliskan sejarah"

Seperti yang sudah ditulis di awal paragraf, sejarah jika itu hal baik maka kita harus mengingat untuk mengulanginya lagi dan jika itu buruk tetap kita harus mengingatnya juga untuk tidak mengulanginya lagi. Menghargai sejarah adalah bentuk kecil dari awal tumbuhnya nasionalisme

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KIDUNG SUNDA"

Post a Comment

Featured Post

Kenanga ataukah melati

Dikala riuh suasana canda tawa perlahan hilang tanpa sadar Remang cahaya lampu itupun kian  larut tanpa kabar. Tergugah aroma wangi yang s...